I. PENDAHULUAN

Dalam perkembangannya, terjadi perubahan paradigma tentang teori pendidikan yang mencari formulasi yang paling efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal baik secara individu - seorang akademisi - maupun lembaga/pemerintah. Dengan perkembangan teori yang diikuti penelitian dalam pendidikan akan dapat membuka khazanah keilmuwan yang dapat diimplementasikan dalam suatu lembaga pendidikan.
Dalam makalah ini akan mencoba menguraikan dan menyuguhkan teori tentang pendidikan multikultural (review buku Choirul Mahfud tentang pendidikan multikulural) yang telah dipaparkan dalam bukunya Choirul Mahfud sebagai wacana baru untuk kemajuan pendidikan kita dan bagaimana konsep pendidikan multikultural tersebut, sehingga kita dapat mengambil manfaat dan dapat diampikasikan dalam dunia pendidikan yang selama ini masih memerlukan penyempurnaan. Dengan adanya pengaplikasian pendidikan multikultural khususnya di Indonesia baik secara religi, kultur dan sosio-politiknya beraneka ragam, kita dapat mengintegralkan dan meramu, sehingga pendidikan mengalami kemajuan yang signifikan.
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini yang perlu dirumuskan untuk memahami substansi makalah ini adalah :
1. Bagaimana pemikiran Choirul Mahfud mengenai Pendidikan Multikultural?
2. Bagaimana pendekatan Pendidikan Multikulturalisme?
III. TUJUAN
1. Mengetahui pemikiran Choirul Mahfud mengenai Pendidikan Multikultural?
2. Mengetahui pendekatan Pendidikan Multikulturalisme Choirul Mahfud??
IV. PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Pendidikan Multikulturalisme
a. Pendidikan
Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[2] Bimbingan bagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik. Jasmani diartikan sebagai fisik yang dalam pertumbuhannya memerlukan pengawasan, sehingga dalam perkembangan tidak mengalami gangguan. Sedangkan dari segi rohani pendidik atau guru harus mampu mengembangkan dengan optimal pengetahuan atau potensi yang dimiliki anak didik. Dengan begitu antara perkembangan jasmani dan rohani saling mempengaruhi, sehingga memerlukan keseimbangan dalam pengawasan.
Sedangkan menurut Prof. Langeveld pakar pendidikan dari Belanda mendefinisikan pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan yaitu kedewasaan.[3] Dewasa diartikan sebagai perkembangan spikologi seseorang yang mampu untuk menerima sesuatu yang baru dan mampu mengembangkannya. Dengan kedewasaan yang dikemukakan diatas anak didik dapat berkembang sesuai wacana yang diterimanya dengan tujuan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia.
Adapun fungsi dari pendidikan mempunyai cakupan yang luas selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Sedangakan dari segi perspektif fungsi pendidikan dibagi menjadi dua. Pertama, pendidikan secara mikro (sempit) yaitu pendidikan berfungsi untuk membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro (luas) pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa.[4]
b. Multikultural
Secara etimologi multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).[5] Untuk memahami kultur secara komprehensif perlu adannya pengetahuan mengenai karakter kultur itu sendiri. Adapun karakter-karakter khusus ini dapat memberikan gambaran tentang makna sebenarnya dari kultur. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General diartikan bahwa setiap manusia di dunia mempunyai kultur dan spesifik berarti berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Dalam hal ini manusia untuk menciptakan sebuah kebudayaan harus melalui proses pembelajaran baik secara individu, sosial dan pembelajaran kultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal usul di mana mereka berada.
Ketiga, kultur adalah sebuah simbol. Dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan atau dijelaskan.
Keempat,kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan untuk mendapatkan energi, kemudian kultur mengajarkan pada manusia untuk makan apa, kapan dan bagaimana.
Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu, sebagai anggota dan kelompok masyarakat. Kultur, secara alamiah ditranformasikan melalui masyarakat.
Keenam, kultur adalah sebuah model. Artinya kultur adalah bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama seklai. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat istiadat, institusi, kepercayaan dan nilai-nilai adalah sesuatu yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya kultur adalah sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan disekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.[6]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia multikultural berarti gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan .[7] Dengan penggunaan lebih dari satu kebudayaan diharapkan mampu mentranformasikan kebudayaan-kebudayaan tersebut dan memberikan nuansa keanekagaman bagi masyarakat luas. Dengan adanya keanekaragaman akan timbul sifat toleransi dan saling menghargai kebudayaan yang lain, sehingga kebudayaan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat sesuai bidang garapan masing-masing.
Sedangkan Menurut irwan, multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, multikulturalisme adalah kesetaraan budaya. Dengan kesetaraan tersebut tidak akan terjadi egosentris antar perbedaan kebudayaan tetapi saling melengkapi.[8] Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya baik ras, suku, etnis, agama dan lain sebagainya. Makna dari multikulturalisme merupakan persamaan derajat setiap kebudayaan sebuah bangsa yang plural dan majemuk dengan budaya yang beragam.
Sedangkan menurut H.A.R. Tilaar, multikulturalisme merupakan “ upaya untuk menggali potensi budaya sebagai kapital yang dapat membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko”.[9] Hal ini juga ditambahkan oleh Dwicipta “mutikultutalisme jangan dipahami sebagai doktrin politik sebagai suatu program, maupun suatu aliran filsafat dengan suatu ketetatan teori tentang ruang hidup manusia di dunia, melainkan sebagai suatu perspektif atau cara pandang tentang kehidupan manusia”.[10] Perspektif atau cara pandang antara manusia satu dengan yang lain mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi akibat dari tingkat pendidikan, lingkungan, sosial maupun budayanya. Dengan adanya konsep multikulturalisme diharapkan mampu bersikap toleransi dan saling menjaga demi keutuhan hidup bersama.
Terdapat lima jenis multikulturalisme :[11]
1) Multikulturalisme isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam saing interaksi minimal sebagai syarat yang niscaya untuk hidup bersama.
2) Multikulturalisme akomodatif: mengacu pada visi masyarakat yang bertumpu satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuain dan pengaturan yang pas untuk kebudayaan minoritas.
3) Multikulturalisme mandiri: mengacu pada visi masyarakat di mana kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam satu kerangka politik kolektif yang dapat diterima.
4) Multikuluralisme kritis atau interaktif: merujuk pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam menciptakan satu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda.
5) Multikulturalisme kosmopolitan: mengacu pada visi masyarakat yang berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi para individu yang kini tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas bergiat dlam eksperimen-eksperimen antar kultur dna mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.
c. Pendidikan multikultural
Dari uraian diatas, akan semakin jelas kandungan dari pendidikan multikultural itu sendiri. Secara definitif pendidikan multikultural sampai saat ini belum jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya, hal itu diakibatkan perbedaan penafsiran antar satu pakar dengan pakar yang lainnya didalam menguraikan makna pendidikan multikultural itu sendiri.[12] Sedangakan menurut Andersen dan Cusher bahwa pendidikan multikulutal dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.[13]
Pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya dapat dicapai dengan baik. Tujuan awal ini pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam pendidikan diharapkan mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik sehingga dapat membangun kecakapan dan keahlian terhadap materi yang diberikan.[14]
Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi akan tetapi diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk bersikap demokratis, pluralis dan humanis.[15]
James Banks menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan, yaitu : Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge contruction proces, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin ilmu). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara belajar siswadalam rangka menfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam, baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.[16]
2. Paradigma Pendidikan Multikulturalisme
Paradigma pendidikan multikultural timbul setelah melihat kemajemukan dalam masyarakat, khusunya Indonesia yang terkenal sangat majemuk dan plural. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua aspek yaitu horisontal diantaranya perbedaan agama, ras, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan dan budayanya, sedangkan secara vertikal yaitu perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Paradigma yang dimaksud bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita .[17] Dengan adanya peningkatan dan pelestarian kebudayaan yang berkembang, masyarakat akan lebih menghargai dan meningkatkan kebudayaannya dengan toleransi dan saling melengkapi kebudayaan satu dengan yang lain menjadi kebudayaan bangsa dan menjadi identitas suatu negara.
3. Pendekatan Pendidikan Multikulturalisme
Menurut Choirul Mahfud ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural. Pertama, Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schoolling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggungjawah primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik semata-mata berada ditangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggungjawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran indormal di luar sekolah.
Kedua, menghindarkan pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana terjadi selama ini. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak secara stereotipe (meniru-niru) menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahan dan memmperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamanakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.[18]
Masih menurut Choirul Mahfud dalam pendidikan multikultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah :
a) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis dan selalu berkembang.
b) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
c) Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
d) Setiap masyarakat bertanggungjawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
e) Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggungjawab terhadap tingkah lakunya.[19]
Pendidikan multikultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebangsaan seseorang terhadap bangsanya. Dengan adanya pengembangan kebangsaan tersebut akan menumbuhkan sifat saling toleransi dan mampu mengambil manfaat dari keanekaragaman tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat berbeda-beda sesuai situali dan kondisi di lingkungan masyarakat tersebut.
Dalam pendidikan multikultural, dapat diidentifikasi perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudaan lain dalam masyarakat lokal sampai dunia global. James Bank mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnis atau cultural identity, yaitu :
B. Urgendi Pendidikan Multikultural di Indonesia
Indonesia secara sosial dan budaya terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan yang mempunyai harapan dan tujuan yang sama melalui jalan yang berbeda. Perbedaan dalam sosial budaya tersebut merupakan indikator yang harus dikembangkan untuk mewujudkan Indonesia yang multi etnis, multi budaya, dan multi agama dengan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, terlebih dalam pendidikan masayarakat harus mampu memahami arti perbedaan secara mendalam.
Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan pada khususnya, maka pendidikan multikulturalisme perlu dimasukkan kedalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.[20]
Mengenai fungsi urgensi pendidikan multikultural di Indonesia sebagai berikut :
a) Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural, sehingga pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budaya dengan cara penerapan dan pengenalan keanekaragaman serta menghayati dan menghargai adanya perbedaan.
b) Supaya Siswa Tidak Tercabut dari Akar Budaya
Dengan berkembangnya era globaliasi sangat memungkinkan adanya perkenalan budaya-budaya mancanegara. Dengan adanya pendidikan multikultural siswa akan mengetahui budaya bangsanya sendiri, sehingga akan dilestarikan sebagai kekayaan bangsa dan sebagai identitas suatu bangsa Indonesia diharapkan siswa tidak akan tercabut dari akar budayanya.
c) Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum Nasional
Kurikulum dalam pendiidkan di Indonesia harus mampu dikembangkan secara optimal yang berasaskan kebenekaan. Dengan kebenekaan tidak terjadi diskriminatif dalam kurikulum nasional yang memberikan porsi yang sama antara daerah satu dengan lain tanpa terkecuali.
d) Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Dengan realisasi diatas siswa akan mencegah konflik atas dasar perbedaan dan mampu menghargai setiap perbedaan, sehingga Indonesia siap dan mampu menuju masyarakat yang menjunjung multikultural dan saling mengembangkan potensi daerahnya sesuai tujuan bersama.
V. KESIMPULAN
Pendidikan mempunyai cakupan yang luas selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Sedangakan dari segi perspektif fungsi pendidikan dibagi menjadi dua. Pertama, pendidikan secara mikro (sempit) yaitu pendidikan berfungsi untuk membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Kedua, secara makro (luas) pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada, multikulturalisme adalah kesetaraan budaya. Dengan kesetaraan tersebut tidak akan terjadi egosentris antar perbedaan kebudayaan tetapi saling melengkapi.
Prinsip pendidikan multikultural. Pertama, Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schoolling), Kedua, menghindarkan pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
VI. REFERENSI
Lopa, Baharudin, 1999, “Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia”, Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa
Mahfud, Choirl, 2006, “Pendidikan Multikultural”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tafsir, Ahmad, 2000, “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam” Bandung : Remaja Rosdakarya
Ujan, Ade Arta(dkk), 2009, “Multikulturalisme”, Jakarta: Malta Printindo
www.pusatbahasa.diknas.go.id, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
Yaqin, Ainul, 2005, “Pendidikan Multikultural”, Yogyakarta : Pilar Media
[1] Baharudin Lopa, Al_qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1999, hal. 71
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 24
[3] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 33
[6] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Pilar Media, Yogyakarta, 2005, hal. 9
[8] Op.cit , hal. 90
[9] Andre Ata ujan, et.al, Multikulturalisme, Malta Printindo, Jakarta, hal. 14
[10] Ibid
[11] Ibid, hal. 15
[13] Ibid
[14] Op.cit, hal. 26
[15] Ibid
[16] Op.cit, hal. 169
[17] Op.cit, hal. 178
[18] Ibid, hal. 184-185
[19] Ibid, hal. 186-187
[20] Ibid, hal. 202
Posting Komentar